Minggu, 22 Mei 2022

MALIN KUNDANG

Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang wanita bernama Mande Rubayah.

Sebelumnya Mande Rubayah hidup bersama suaminya di pedalaman. Tetapi hidup mereka disana kurang beruntung. Agar dapat merubah nasibnya mereka kemudian pindah ke perkampungan nelayan di tepi pantai.

Di tempat itu suami Mande Rubayah merupbah mata pencaharian, dari tukang perambah hasil hutan sekarang menjadi nelayan ikan. Mereka bersyukur karena rejeki datang dengan lancar, hidup mereka tidak lagi sesulit ketika berada di pedalaman. 

Beberapa tahun tinggal di perkampungan nelayan, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin Kundang sangat di sayang oleh orang tuanya.

Kira-kira ketika Malin Kundang berumur sepuluh tahun, ia sering diajak ayahnya kelalut untuk diajari menjadi nelayan yang ulung. Harapan sang ayah nantinya Malin Kundang bisa menjadi pemuda yang tangguh, terampil sebagai nelayan sejati sehingga mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.

Meskipun mashi anak-anak, sudah namapak pada diri Malin Kundang watak yang berkamuan keras, otaknya cerdas dan pandai bergaul sehingga disukai oleh teman-temannya. Pada suatu hari sang ayah pamit berangkat melaut.

"Malin Kundang! Ayah berangkat, hati-hati dirumah bersama Ibu, jangan nakal ya!" Kata sang ayah.

"Ya Ayah, Malin akan baik-baik saja bersama ibu," jawab sang anak.

"Istriku... aku berangkat. Jaga Malin baik-baik!"

"Jangan kuatir suamiku, aku akan menjaga anak kita satu-satunya ini dengna jiwa ragaku. Berangkatlah suamiku, do'a kami berdua menyertaimu." kata Mande Rubayah.

Tidak seperti biasanya ada perasaan haru di hati Mande Rubayah. Kepergian kali ini dirasa sangat berat. Tak tahu kenapa ia punya persaan seperti ini.

Sang suami berangkat dengan hati lapang, Malin Kundang masih sempat melambaikan tangannya ketika sang ayah melangkahkan kaki menuju perahu.

Pada suatu hari kampung nelayan itu dilanda wabah penyakit yang mematikan. Sudah banyak orang yang menjadi korban. Malin Kundang termasuk salah satu orang yang terserang penyakit itu.

Mande Rubayah makin gelisah karena sudah beberapa hari ini suaminya berlum kembali ke rumah. Sementara penyakit Malin Kundang  makin hari makin bertambah parah.

"Apa yang terjadi dengan suamiku, kenapa sudah sepekan tidak pulang, apakah ia mendapat musibah di tengah lautan?" demikian tanya Mande Rubayah dalam hati. Tak terasa air matanya berlinang.

Dengan sebisa-bisanya ia berusaha mengobatai Malin. Ia datangkan tabib terkenal untuk mengobati anaknya.

Ia berdo'a siang malam demi kesembuhan anaknya.

Atas kesungguhan usahanya dan ketulusan do'a nya. Keadaan Malin Kundang berangsur-angsur membaik, dan tak lama kemudian anak itu sembuh dari penyakitnya.

"Alhamdulillah... anakku sembuh juga akhirnya," demikian desah Mander Rubayah penuh rasa syukur kepada  Tuhan.

Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mander Rubayah sangat menyangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.

Karena tak ketahuan berita suaminya lagi, maka Mande Rubayah membanting tulang dengan berjualan kue. Setiap hari ia menjajakan kue kekampung-kampung. Hasilnya lumayan juga, cukup untuk dimakan ia dan anaknya.

Tak terasa hari berganti tahun berlalu, sekarang Malin Kundang sudah tumbuh menjadi remaja. Hasil didikan ayahnya masih membekas dan mengakar dalam dirinya. Ia sudah sering ikut mengarungi laut bersama nelayan lainnya.

Ia seorang pemuda yang cerdas dan tangguh. Hasil tangkapan ikannya jauh melebihi teman-temannya yang lain.

Malin Kundang sangat sayang kepada ibunya. Ia juga dikenal sebagai anak muda yang ramah, tidak sombong sehingga banuyak disukai oleh teman-temannya.

Tetapi ia tidak puas dengna keadaanya. Seringkali ia duduk di tepi pantai sambil merenung. 

"Kalau akau tetap di sini nasibku akan tetap begini."

Demikian pikir Malin Kundang. "Aku tak ingin nasibku tetapi seperti ini, Emakku sudah tua. Sebagai seorang anak aku berlum pernah berbuat sesuatu untuk menyenangkan hatinya.

Aku akan merantau, semoga nasibku baik, jika aku sudah jadi orang kaya maka Emakku akan kuajak dan kubangunkan rumah yang bagus dan indah."

Tidak hanya ditepi pantai, di rumah pun ia juga ering kelihatan melamun sehingga sang ibu menegurnya.

"Apa yang kau lamunkan anakku?" tegur Mande Rubayah.

"Oh, Emak.... tidak mak, tidak apa-apa." sahut Malin.

"Apakah karena kau sudah akil balik maka aku harus mencarikan anak gadis sebagai pendamping hidupmu?"

"Ah, Emak... aku belum pernah memikirkan hal itu."

"Lalu apa yang kau sembunyikan dariku, Nak? coba kau utarakan kepadaku"

Malin Kundang terdiam, di satu pihak ia merasa kasihan kepada ibunya yang sudah tua, haruskan ia tinggalkan ibunya seorang diri. Di sisi lain ia merasa harus pergi dari kampung halaman untuk merubah nasibnya.

Dengan berat hati ia berkata juga, "Emak... ijinkan aku pergi merantau, mengadu nasib untu mencari rejeki."

"Tetapi anakku...bukankah disini kita tak pernah kesulitan. Aku masih sanggup untu terus berjualan kue."

"Benar mak... kalau sekedar untuk makan memang sudah cukup. Tapi apakah emak sudah puas dengan keadaan hidup seperti ini?"

"Jadi apa yang kau inginkan Malin?"

"Emak, aku selalu bermimpi tentang rumah yang bagus. Pakaian yang indah dan mahal untuk Emak. Nasib kita tidak terus seperti ini. Emak tidak usah bekerja menjual kue. Kalau aku berhasil akan kusediakan beberapa pelayan yang akan memenuhi segala keperluan Emak."

Mande Rubayah terharu mendengar perkataan anaknya. Tanpa terasa air matanya menetes di pipi.

"Oh Malin... jadi kau hendak peregi merantau semata-semata hanya karena ingin menyengakan dan membahagiakan Emakmu. Sungguh mulia cita-citamu. Itulah tandanya kau benar-benar anak yang berbakti."

"Memang itulah cita-cita ku Emak."

"Kalau begitu aku tidka keberatan. Sewaktu-waktu kau boleh pergi."

"Oh, jadi emak mengijinkan aku merantau?"

Setelah mengadakan persiapan seperlunya, Malin Kundang berangkat meninggalkan kampung halaman Pantai Air Manis. Sang ibu melepasnya dengna cucuran air mata dan iringan do'a.

"Ya Tuhan, lindungilah anakku dari segala macam marabahaya."

Meski dengna berat hati akhirya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.

Setelah sekian lama dalam perjalanan. Malin sampai di pelabuhan besar y ang ramai dengan para pedagang dan kapal-kapal layar yang besar.

Di dermaga pelabuhan nampak sebuah kapal besar yang hendak bersiap berlayar menuju negeri sebrang. Malin mendekati kapal itu. Ia bertemu nakhoda kapal.

"Saya bermaksud mencari pekerjaan di kapal. Tolonglah tuan, pekerjaan apapun yang tuan berikan akan saya laksanakan."

"Betul kamu mau bekerja apa saja di kapal ini?"

"Betul tuan!"

Mulai saat ini Malin bekerja sebagai awak kapal dagang.

Mula-mula ia bekerja sebagai tukang pembersih geladak kapal. Karena rajin dan cerdas ia disayang oleh sang nakhoda. Tak jarang jika waktu luang ia membantu keperluan pribadi sang nakhoda. Ia juga bersedia memijat sang nakhoda jika sedang kelelahan.

Lama kelamaan sang nakhoda yang tak punya anak itu menggangap Malin sebagai anaknya sendiri. Malin diajari tata cara mengemudi kapal.

Ketika sang nakhoda berusia lanjut, Malin diangkat sebagai penggantinya. Malin pandai dan berbakat menjadi pedagang, dalam beberapa tahun saja ia sudah memiliki kapal sendiri. Ia berniaga ke berbagai negeri. Setelah sekian tahun ia sudah berhasil menjadi saudagar muda yang terkenal. 

Di sebuah pelabuhan di negeri Malaka, ia mendirikan bangunan megah untuk kantor dagangnya. Keberhasilan dan kemasyhurannya sampai ke negeri minang tempat kelahirannya.

Malin Kundang menikah dengan seorang gadis cantik, puteri saudagar kaya raya. Kehidupan Malin semakin mapan dan bahagia.

Sementara itu, hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. ia bertanya-tanya dalam hati, sampai manakah anaknya kini?

Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar.

Ia menengadahkan kedua tanganya ke atas sembari berdo'a agar anaknya selamat dalam pelayaran.

Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. 

Tetap semua awak kapal atau nakhoda tidak pernah memberikan jawaban memuaskan.

Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun.

Tubuhnya semakin tua di makan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.

Pada suatu hari Mander Rubayah mendapat kabar dari teman yang pernah merantau ke Malaka, bahwa Malin sekarang telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo'a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.

"Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang..." rintih Mande Rubayah tiap malam.

"Ya Tuhan... lindungilah anakku dari segala marabahaya, pertemukanlah ia denganku sebelum ajal datang menjemputku."

Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.

Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat-tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda-mudi berdiri di anjungna. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah. 

Mande Rubayah yang sudah tua renta terbaring sakit di rumahnyha. Burhan dan istrinya teman Malin sejak kecil segera mendatangi Mande Rubayah. Mereka memapah Mande Rubayah yang berjalan tertatih-tatih menuju tepi pantai.

Dengan susah payah Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebaran keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesanyangannya si Malin Kundang.

Belum lagi tetua desa sempat menyambut, ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk Malin erat-erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.

"Malin, anakku" Katanya menahan isak tangis karena gembira. "Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?"

Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang camping itu, ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya.

Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya ke mana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, "Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?"

Lalu dia meludah lagi. "Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?"

Mendengar kata-kata istrinya Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perlakuan anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, "Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak!"

Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, "Hei, Perempuan tua! ibuku tidak seperti engkau! melarat dan dekil !"

Wanita tua itu terkapar diatas pasir. Burhan dan istrinya hampir tak percaya melihat kejadian itu.

"Malin...! teriak Burhan, "Setega itukah hatimu? Dia adalah ibumu! Ibu kandungmu sendiri!"

"Siapa pula kau anak muda?" hardik malin pada Burhan.

"Aku Burhan temanmu bermain sejak kecil"

"Aku tidak mengenalmu!" bentak Malin.

Mander Rubayah yang barusan terkapar dengan susah payah dibantu istri Burhan segera bangkit, "Malin... benarkah kau sudah lupa pada aku ibumu Mande Rubayah."

"Hai wanita tua dan miskin, aku saudagar kaya, bukan anakmu. Enyahlah kau dari hadapanku."

Perempuan tua itu akhirnya hanya bisa menangis. "Ya-Allah, Malin Kundang rupanya malu mengakui aku sebagai ibunya."

Tiba-tiba Malin Kundang menunjuk ke arah bendahara kapal,  "Hai bendahara kapal, berilah wanita itu ini uang agar tidak menggangguku."

Mande Rubayah cepat menyahut, "Tidak! Aku tidak butuh uang!"

"Hai wanita tua dan miskin kau tidak butuh uang, lalu apa yang kau inginkan dariku?"

"Aku hanya butuh pengakuan bahwa aku adalah ibumu, setiap hari aku merindukanmu!"

"Sudah kukatakan aku bukan anakmu, kau bukan ibuku! Jika kau memaksaku akan kusuruh orang-orangku berbuat kasar kepadamu"

Mande Rubayah terhenyak, benar-benar hancur hatinya dengan lemas ia berkata lembut. "Baiklah anak muda, mungkin mataku ini sudah rabun salah mengenali orang. Untuk itu akau minta maaf kepadamu karena aku telah mengganggumu."

"Nah, begitu kau seharusnya tau diri sejak tadi!" sahut Malin.

Tiba-tiba Mande Rubyah mampu berdiri tegak. Entah kekuatan apa yang menyertainya. Sepasang matanya berkilat-kilat, ketika bicara suaranya terdengar lantang.

"Tetapi anak muda...! Jika kau adalah anakku yang kuberi nama Malin Kundang, yang kukandung sembilan bulan sepuluh hari. Dan kubesarkan dengna cucuran air susuku, maka terkutuklah engkau!"

Semua orang kaget mendengar ucapan wanita renta ini. Wanita tua ini kemudain bersimpuh diatas tanah, dengan sungguh-sungguh ia berdo'a," Ya Allah ya Tuhanku, Engkau lebih tahu hukuman apa yang harus Kau berikan kepada anak durhaka ini! Anak yang telah mencaci maki ibunya sendiri. Menghina ibu kandung di hadapan istrinya dan orang banyak! Ya Allah tunjukkanlah kebesaran-Mu."

Malin Kundang dan istrinya, beserta seluruh awak kapal dan penduduk yang berkerumun merinding mendengnar ucapan Mande Rubayah.

"Burhan mari kita tinggalkan tempat ini!" kata Mande Rubayah. Wanita itu segera dipapah menuju rumahnya.

Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Rombongan Malin Kundang juga segera kembali kekapal. Tak berapa lama Pantai Air manis sudah sepi. Kapal berlayar ke tengah laut. Meninggalkan bekas kekecewaan seorang ibu tua yang tersia-tersia.

Didalam kapal pesiar yang mewah, Malin Kundang nampak gelisah.Bagaimanapun ia tak bisa membohongi diri sendiri, ia ngeri membayangkan kutukan ibunya.

Terbesit rasa sesal di dalam hatinya. "Mengapa aku tega berbuat demikian, padahal dia adalah ibu kandungku sendiri."

Di sudut hatinya yang lain ia menghibur diri, mudah-mudahan wanita tua itu bukan ibunya. Kutukan tidak menjadi kenyataan, ia akan hidup bahagia bersama istrinya hingga hari tua.

Istri....? Jika ia ingat istrinya ia jadi gemetar, justru karena rasa malu pada keluarga istrinya ia telah tega berbuat jahat terhadap ibunya.

Gara-gara ucapan dan hinaan istrinya ia jadi ikut-ikutan menghina ibunya sendiri.

"Oh ibu.....!" tanpa sadar terdengar teriakan lirih dari bibir Malin Kundang. "Maafkan anakmu ini.....!"

Istri Malin yang berada di sampingya kaget mendengar ucapan suaminya.

"Kanda....! ada apakah kiranya? Apakan wanita tua itu benar-benar ibumu?" tanya istri Malin dengan gelisah.

Kapal terus bergerak ke tengah laut. Melalui gunung monyet menuju malaka. Tiba-tiba cuaca yang tadinya cerah berubah total menjadi kelam bahkan menjadi gelap, tak berapa lama kemudian hujan turun dengan lebatnya disertai badai.

Langit semakin kelam, angin bertiup semakin kencang, gelombang lautan semakin membumbung tinggi. Tiba-tiba terdengar suara halilintar menyambar membelah langit. Disusul hujan badai yang menimbulakan gelombang besar, mengamuk dan menakutkan.

Jika alam sudah murka tak ada lagi kesombongan manusia. Mereka hanya berusaha semampunya, lalu pasrah kepada Sang Pencipta alam.

Seluruh awak kapal dicekam ketakutan.

Malin Kundang keluar dari bilik menju geladak kapal.Dia berusaha memberi arahan kepada anak buahnya agar dapat mengendalikan kapal yang sudah tak karuan arahnya.

Tiba-tiba nampak bayangan ibunya yang tua renta, Terbayang pula saat ia mendorong wanita itu hingga rebah ke tanah.

"Emaaak....! tanpa sadar ia berteriak memanggil ibunya.

Istri Malin kaget, ia ikut keluar geladak, melihat suaminya kebinguan dan ketakutan seperti melihat hantu.

"Kakanda... apa yang terjadi...?" tanya istri Malin dengan penuh rasa takut dan kuatir.

"Wanita tadi... wanita tua dan miskin itu... dia adalah ibuku sendiri, emakku sendiri...!"

"Apa?Wanita itu ibumu sendiri? Astaga! Celakalah kita kali ini"

"Benar! Aku telah durhaka kepada ibuku sendiri, ibu yang telah mengandung dan membesarkanku dengan air susu dan kasih sayangnya, sungguh aku telah berdosa... sungguh aku menyesal!"

"Kakanda mengapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?"

Malin seperti tak mendengar pertanyaan istrinya lagi. Gemuruh ombak dan petir bersaut-sautan, menambah seramnya suasana di tengah laut. Kapal oleng ke sana ke mari tanpa dapat dikendalikan lagi.

Tiba-tiba ombak setinggi bukit, menghempas dan menerjang kapal Malin Kundang. Kapal jadi terguncang hebat, tubuh istri Malin terlempar ke laut yang sedang mengganas.

"Kakanda....! Tolong akuuuu....!"

malin hanya bisa memandang tubuh istrinya yang terjatuh ke laut. Jangankan menolong istrinya, menyelamatkan diri sendiri saja ia tak mampu. Satu persatu awak kapal juga terlempar ke laut, Malin makin panik dan ketakutan.

"Emak... ampuni akuuu... cabutlah kutukanmuuu....!"

Tapi suara gemuruh ombak dan badai terlalu keras dan dahsyat, menelah suar anak manusia yang bagaikan setitik debu di tengah lautan.

"Emakk ampuni akuu...!"

Tapi nasi sudah menjadi bubur, rasa sakit hati seorang ibu telah berubah menjadi kekuatan alam yang dahsyat. Gelombang laut semakin mengganas, diiringi badai dan guntur yang membahana. Menelan teriakan Malin yang mohon ampun kepada ibunya.

Tak terhindarkan lagi, di telur Air manis kapal Malin terhempas dan kandas. Malin Kundang tewas.

Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Di sela-sela batu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggriri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Demikianlah, sampai sekarang, jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang kapal dan manusia itu, terdengan bunyi seperti lolongan jerit manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. "Ampuuuun,BU.....!Ampuuuun.....Bu.....!" konon itulah suara si Malin Kundang.

Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama ibunya, orang tersebut tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mendapat pengampunan dari ibunya.

Demikianlah legendan Malin Kundang. Tentang kebenarannya hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui. Yang jelas hikmah di balik kisah adalah seorang ibu pasti sengsara dan menderita jika anaknya yang sudah berhasil jadi orang kaya ternyata tak mau mengakuinya sebagai ibu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar