Selasa, 24 Mei 2022

LEGENDA PULAU KAPAL

Cerita ini berasal dari Belitung. Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan yang ada dalam utan. Hasil pencariannya di jual di pasar.

Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki bernama si Kulup. Si Kulup sengan membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa menderita.

Suatu ketika, ayah si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung, terlihatlah oleh ayahnya si Kulup sebatang tongkat berada pada rumpun bambu. Pak Kulup demikian orang menyebut ayah si Kulup mengamati tongkat tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul dan dibersihkan ternyata tongkat tersebut bertabur intan permata, dan merah delima.

Ia juga tetap membawa rebung pulang, karena dari situlah mata pencahariannya sehari-hari. Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut, membawa tongkat pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, didapatinya si Kulup sedang tiduran. Istrinya berada di rumah tetangga.

Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tapi pemuda itu tidak mau. Ia baru saja pulang mendorong kereta. Badannya masih lelah. Ia tidak tahu bahwa ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata.

Pak kulup pergi menyusul istrinya yang sedang bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah, mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.

Pak Kulup mengusulkan supaya tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup menjawab: "Mau disimpan dimana. Kita tidak punya lemari."

Kemudian Si Kulup pun usul: "Lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya.

Akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian tongkat itupun telah terjual dengan harga yang sangat mahal.

Setelah si Kulup menjadi kaya, ia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya. Ia tetap tinggal di rantauan. Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar kaya maka ia pun diambil menantu oleh saudagar paling kaya di negeri tersebut. 

Si Kulup sudah beristri. Mereka hidup serba berlebih. Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat.

Setelah bertahun-tahun hidup di rantau, oleh mertuanya si Kulup disuruh berniaga ke negeri lain bersama istrinya. Si Kulup membeli sebuah kapal besar, ia juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.

Mulailah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungan Cerucuk mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang perbekalannya, seperti, ayam, itik, anga, burung.

Kedatangan si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya. sangatlah rindu kedua orang tuanya, terlebih-lebih emaknya. Emaknya menyiapkan makanan kesukaan si Kulup seperti; ketupat rebus, belut panggang, dan sebagainnya. Kedua orang tuanya datang di kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.

Sesampai di kapal kedua orang tua itu mencari anaknya si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar kaya melihat kedua orang tuanya merasa malu. Maka diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun di buang.

Saudagar kaya itu marah sambil berucap; 

"Pergi lekas pergi."

"Aku tidak punya orang tua seperti kau, jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti kau. Enyahlah engkau dari sini!"

Pak Kulup dan istrinya merasa terhina sekali. Mereka cepat-cepat meninggalkan kapal. Putuslah harapannya bertemu dan mendekap anak untuk melepas rindu. Yang mereka terima hanyal umpatan caci maki dan anak kandungnya sendiri.

Setibanya di darat, emak si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. Ia benar-benar terpukul hatinya melihat persitiwa tadi. Ia berucap;"Kalau saudagar itu benar-benar anakku si Kulup dan kini tidak mau mengakui kami sebagai orang tuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam.

Selesai berucap demikian itu, ayah dan emak si Kulup pulang ke rumahnya dengan rasa kecewa. Tidak berapa lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa, tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerejang kapal saudagar kaya. Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke kiri, menimbulkan ketakutan luar biasa pada penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.

Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal besar itu, muncullah sebuah pulai yang menyerupai kapal. Pada waktu-waktu tertentu terdengar suara binatang bawaan saudagar kaya. Maka hingga sekarang pulau itu dinamakan pulai Kapal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar