Rabu, 25 Mei 2022

ASAL MULA SELAT BALI (MANIK ANGKERAN)

Dahulu di Blambangan ada seorang Begawan bernama Sidi Mantra. Ia adalah seorang Begawan yang kaya raya dan berbudi pekerti luhur. Pengetahuan agamanya sangat luas dan sangat disegani oleh masyarakat di sekitarnya.

Ia mempunyai seorang istri yang cantik dan baik hati. Dari perkawinannya ini ia dikarunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Manik Angkeran. Mereka berharap anaknya ini akan mewarisi ilmu dan ketokohan sang ayah di masyarakat Bali.

Sang Begawan berusaha mendidik Manik Angkeran dengan budi pekerti yang baik dan pengetahuan agama yang diyakininya. Ia sangat ketat dan disiplin dalam memberikan pelajaran kepada anaknya.

Di depan ayahnya Manik Angkeran seolah anak yang penurut. Namun sunguh aneh di luar ia ternyata tidak demikian, ia suka berteman dengan anak-anak remaja  yang suka berjudi.

Akibatnya ia juga suka judi sabung ayam dan main dadu. Karena harta kedua orang tuanya cukup banyak maka tidak sulit bagi Manik Angkeran untuk meminta jatah uang kepada ibunya setiap hari.

Dan setiap hari ia tak jeme-jemunya main judi, ia sudah diperingatkan oleh ayah dan ibunya namun tak mau menghentikan kebiasaannya yang jelek itu.

Lama-lama harta sang Begawan terkuras habis. ini tentu membuat sedih hati sang ibu.

Harta kedua orang tuanya habis tetap tidak membuat Manik Angkeran kapok ia terus saja bermain judi dengan cara berhutang kepada bandar judi.

Hingga suatu ketika karena hutangnya sangat banyak Manik Angkeran menghilang entah ke mana, ia tak berani pulang ke rumah. Suatu hari, ada dua orang bandar judi yang datang menghadap Begawan Sidi Mantra untuk menagih uang Manik Angkeran. Tentu sang Begawan menjadi malu. Namun karena Manik Angkeran anak satu-satunya maka ia bersedia membayar hutangnya.

"Baiklah besok aku lunasi hutang anakku itu," kata Sang Begawan.

Begawan Sidi Mantra teringat pada sahabatnya yang tinggal di lereng Gunung Agung sebelah timur. Sahabatnya itu mempunyai harta yang melimpah. Lalu berangkatlah Begawan Sidi Mantra ke arah timur dengan membawa genta pemujaannya.

"Aku berharap mudah-mudahan setelah hutangnya akau lunasi Manik Angkeran segera sadar dan tidak mau main judi lagi." demikian bisik hati sang begawan Sidi Mantra.

Setelah tiba di lereng Gunung AGung, Begawan Sidi Mantra mulai mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Tak lama kemudian, keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih.

"Hai, Begawan Sidi Mantra, apa maksudmu memanggilku?" tegur sang naga.

"Ketahuilah sang Besukih, kekayaanku dihabiskan oleh anakku untuk berjudi. Sekarang utangnya menumpuk dan dikejar-kejar oleh orang tempatnya berhutang. Bantulah aku agar bisa membayar utang anakku!"

"Baiklah Begawan Sidi Mantra. Tetapi nasehatilah anakmu agar berhenti berjudi. Karena menurut ajaran agama berjudi adalah pekerjaan nista."

Begawan Sidi Mantra menyanggupi melaksanakan segala nashat Naga Besukih. Dengan menggetarkan tubuhnya keluarlah emas dan intan dari sisik sang Naga Besukih.

"Pungutlah itu Begawan Sidi Mantra! Bayar semua utang anakmu. Ingat, jangan dibiarkan lagi ia berjudi."

Setelah memungut semua emas dan intan yang diberikan Naga Besukih, pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawa Timur. Semua utang anaknya dibayar, seraya menasihati agar anaknya tidak lagi berjudi.

Akan tetapi, nasihat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran. Tak berapa lama, utang Manik Angkeran menumpuk kembali. Seperti biasa kalau hutangnya sudah menumpuk banyak Manik Angkeran tidak berani pulang ke rumah. Ia bersembunyi entah kemana.

Lagi-lagi bandar judi datang ke rumah Begawan Sidi Mantra untuk menagih hutang Manik Angkeran.

"Kurang ajar! jadi anak itu masih belum kapok juga bermain judi...!" desah sang Begawan.

"Aku terpaksa meminta bantuan lagi pada sahabatku Naga Besukih."

Meskipun Begawan Sidi Mantra agak kesal, akhirnya ia berangkat juga menghadap Naga Besukih untuk mohon bantuan. Setibanya di Gunung Agung, Begawan Sidi Mantra mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Naga Besukih pun keluar dari istananya.

"Begawan Sidi Mantra, apalagi kepentinganmu memanggil aku?"

"Aduh sang Besukih, sekali lagi aku minta tolong agar aku bisa membayar utang-utang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa. Utang terus menumpuk.Semua nasihatku tidak dihiraukannya."

"Ternyata anakmu telah membangkang. Ia tidak punya rasa hormat kepada orang tuanya. Untuk kali ini aku akan membantumu. Tapi bantuanku ini adalah bantuan terakhir. Setelah ini akau tak akan membantumu lagi."

Setelah menggerakkan tubuhnya, keluarlah emas dan permata dari sisik Naga Besukih. Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata itu, lalau mohon diri.

Setiba di rumahnya segera Begawan Sidi Mantra melunasi utang piutang anaknya. Manik Angkeran merasa heran karena melihat ayahnya dengan mudah mendapatkan harta yang melimpah. 

"Ayah, dari manakah ayah mendapatkan harta sebanyak itu?"

"Sudahlah, Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana Ayah mendapatkan harta itu. Berhentilah kau berjudi, sebab berjudi adalah pekerjaan hina. Jika sekarang kamu punya hutang lagi, Ayah tidak akan membantumu. Ini adalah bantuan Ayah yang terakhir.

Tak lama kemudian hutang Manik Angkeran pun menumpuk lagi. Untuk minta bantuan kepada ayahnya ia tak berani. Oleh karena itu, ia bertekad untuk mencari sumber harta itu sendiri. Dari beberapa orang kawannya, ia mendapatkan keterangan bahwa Begawan Sidi Mantra mendapatkan harta kekayaan di sebuah gunung di sebelah timur bernama Gunung Agung. Kemudian Manik Angkeran merengek-rengek, merayu ibunya agar memberitahukan rahasia ayahnya mendapatkan harta di Gunung Agung.

Mula-mula sang ibu merasa keberatan. Ia adalah istri yang setia. Tak mungkin ia berani mengkhianati suaminya. Namun Manik Angkeran hampir setiap hari merayunya.

"Wahai ibu, hanya sekali ini saja. Bila hutang-hutang saya sudah lunas saya akan berhenti main judi dan menjadi anak yang penurut," kata Manik Angkeran.

"Benarkah Manik?" tanya ibunya.

"Sumpah Bu, aku berjanji demi kehormatan ayah."

Sang ibu akhirnya terpengaruh. Ia  yang sudah diberitahu oleh suaminya tentang tata cara mendapatkan harta di Gunung Agung segera bercerita tanpa sepengetahuan suaminya.

"Tapi tunggu dulu beberapa hari lagi...."

"Ah, ibu... orang-orang terus mengejar-ngejar saya untuk menagih hutang saya. Sejauh ini mereka sudah kuminta untuk tidak datang kerumah ini. Tapi lama-lama jika saya tidak segera menemui mereka pastilah mereka menagih kemari."

"Ya Manik, tapi kita harus menunggu ayahmu berpergian lebih dulu. Aku tak bisa mengambil genta ajaib bila ayahmu masih berada di rumah."

"Yah, terus bagaimana Bu?"

"Terpaksa harus menunggu..." desah ibunya.

Kebetulan esok harinya Begawan Sidi Mantra berpergian ke desa lain untuk memberikan ceramah agama. Pada saat itulah sang ibu dan anak beraksi. Diambilnya genta ajaib dari tempat pusaka. Lalu diberikan genta itu pada Manik Angkeran.

"Dengan genta ajaib inilah ayahmu memanggil naga Besukih untuk mendapatkan sisik emasnya." kata sang ibu

Manik Angkeran pun berangkat ke timur setelah membawa genta ayahnya. Setibanya di Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan genta ayahnya. Naga Besukih merasa terpanggil oleh bunyi itu. Tetapi ia merasa heran tidak mendengar mantra yang diucapkan. Sang Naga Besukih segera muncul. Dilihatlah Manik Angkeran datang membawa genta ayahnya. Menyaksikan hal ini, Naga Besukih sangat marah.

"Hai, Manik Angkeran, ada apa kamu memanggil aku dengan genta ayahmu?"

"Sang Naga Besukih, akau menghadapmu untuk mohon bantuan memberikan harta, agar aku bisa membayar hutang-hutangku. Kalau kali ini saya tidak membayar hutangku, aku akan dibunuh oleh orang-orang tempatku berhutang. Kasihanilah aku." kata Manik Angkeran dengan sedih.

"Kenapa aku harus menolongmu?" kata Naga Besukih.

"Karena aku anak sahabatmu..."

"Tapi kau anak kurang ajar!"

"Aku.... berjanji hanya sekali ini saja...!"

"Janji penjudi apa bisa dipercaya?"

"Aku bersumpah tidak akan main judi lagi!"

"Benarkah?"

"Demi langit dan bumi, demi Gunung Agung!" kata Manik Angkeran meyakinkan.

"Aku meragukanmu sumpahmu...!"

"Kalau begitu... kau bukan sahabatku ayahku..."

"AKu tetap sahabat ayahmu," sahut sang Naga.

"Tapi kenapa tidak mau menolongku?" tukas Manik Angkeran.

"Karena aku khawatir kau akan main judi lagi..."

"Aku hanya ingin dibantu sesuai jumlah hutangku saja... setelah bayar hutang aku akan berbakti kepada ayah dan ibu. Mendalami ilmu agama agar lebih dekat dengan Sang Hyang Widhi. Tapi.. kalau kau tak mau menolongku.. ya sudahlah..." ujar Manik Angkeran dengan kesedihan yang dalam.

Menyaksikan kesedihan Manik Angkeran, Naga Besukih merasa kasihan. Ia pun berjanji membantu Manik Angkeran. 

Setelah memberikan nasihat panjang lebar, Naga Besukih membalikkan tubuhnya untuk mengambil harta yang akan diberikan kepada Manik Angkeran. 

Pada saat itu, ekor Naga Besukih masih berada di permukaan tanah, sedangkan kepala dan tubuhnya masuk ke dalam bumi. 

Melihat ekor Naga Besukih penuh dengan intan berliat besar-besar, timbullah maksud jahat Manik Angkeran. Ia menghunus kerisnya lalu memotong ekor Naga Besukih.

Naga Besukih meronta dan membalikkan tubuhnya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Naga Besukih mengejar Manik Angkeran, tetapi tidak dijumpai. Yang dijumpai hanyalah bekas tapak kakinya. Dengan kekuatan yang luar biasa, Naga Besukih menyedot telapak kaki Manik ANgkeran.

Ajaib tiba-tiba tubuh Manik Angkeran berada di hadapan Naga Besukih.

"Anak kurang ajar! Tak tahu diri!" teriak Naga Besukih dengan marah dengan sepasang mata menyala-nyala.

Manik Angkeran gemetar ketakutan. Tak disangka ia yang sudah berlari demikian jauh tiba-tiba tersedot kekuatan gaib dan berada di hadapan sang Naga Besukih. 

"Ampun...ampun Naga....!"

"Kamu tidak bisa diampuni lagi. Harus diberi pelajaran!"

Lalu Naga Besukih menyemburkan hawa panas bercampur racun dari mulutnya ke arah tubuh Manik Angkeran.

Tubuh Manik Angkeran terlempar beberapa meter dan seketika tubuhnya terbakar hangus menjadi abu.

Di Blambangan Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya menghilang. Genta pemujaannya pun tidak ada ditempatnya.

Sang istri segera menceritakan apa yang telah dilakukannya.

"Aduh celaka istriku! Aku harus menyusul Manik." kata sang Begawan

Sang Sidi Mantra dapat memastikan anaknya pergi ke Gunung Agung untuk mencari harta.

Seketika itu, berangkatlah Begawan Sidi Mantra menuju Gunung Agung. Sesampainya di sana, dilihatnya Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra menegur Naga Besukih.

"Hai sang Besukih adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?"

"Ya, ia telah datang kemari untuk minta harta guna melunasi utang-utangnya. Ketika aku membalikkan tubuhku hendak mengambilkan harta, ia memotong ekorku karena tergiur oleh intan berlian yang besar-besar di ekorku. Aku telah membakarnya sampai musnah, karena anakmu tak tahu membalas budi. Sekarang apa maksud kedatanganmu Begawan Sidi Mantra.

"Maafkanlah aku sang Besukih! Anakku cuma satu. Karena itu aku mohon kepadamu agar anakku dihidupkan kembali."

"Untuk apa?"

"Dia toh tetap anakku..."

"Tapi dia benar-benar kurang ajar!"

"Aku akui aku teledor, membiarkan ibunya memanjakannya. Tapi sekarang aku akan mendidiknya dengan sungguh-sungguh. Aku yakin dia akan menjadi anak yang baik."

"Kau yakin...?"

"Yakin sekali... kukira dia telah mendapatkan pelajaran setimpal atas kesalahannya. Kau telah menghukumnya. Ini akan membuatnya jera. Maka hidupkanlah anakku lagi."

"Demi persahabatan kita aku akan memenuhi permintaanmu, tetapi aku minta agar ekorku dikembalikan seperti semula."

"Baiklah, aku pun akan memenuhi permintaanmu."

Dengan mengerahkan kekuatan batin masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula ekor Naga Besukih utuh seperti semula.

Setelah memberi nasihat panjang lebar kepada anaknya, Begawan Sidi Mantra pulang ke Blambangan Jawa Timur. Manik Angkeran tidak dibolehkan ikut serta. Ia disuruh tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena sudah sadar akan kekeliruannya, Manik Angkeran tunduk kepada perintah orang tuanya.

"Jangan pernah kembali lagi ke Blambangan. Jika kau kembali ke sana kau pasti bertemu dengan kawan-kawanmu penjudi."

"Saya sudah kapok ayah, saya benar-benar sudah bertobat sekarang."

"Baiklah kalau begitu, ayah akan kembali ke Blambangan."

Begawan Sidi Mantra berjalan menuruni lereng gunung Agung. Hatinya masih merasa was-was jangan-jangan anaknya akan menyusul ke Blambangan.

"Harus ada sesuatu yang menghalanginya ke Blambangan." gumam sang Begawan.

Ketika Begawan Sidi Mantra tiba di sebuah tanah genting, di torehkannya tongkatnya ke tanah, seketika bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Kemudian terjadilah sebuah selat, yang sekarang dinamai Selat Bali.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar